Total Tayangan Halaman

Sabtu, 10 November 2012

Kebudayaan masyarakat Korea dalam berkencan


Halo , Kali ini saya ingin membahas tentang bagaimana Kebudayaan masyarakat Korea dalam berkencan, semoga infonya bermanfaat.

Selamat membaca^^

1. Apa yang harus dilakukan dan Apa yang tidak

Di Korea, Para pria wajib membayar segalanya ketika berkencan. Dan mereka juga diharapkan untuk membawa tas perempuan. Hal tersebut adalah pemandangan yang sangat umum untuk melihat para pria Korea  membawa tas pacar mereka ‘di mal, sekolah, jalan, kereta bawah tanah dan tempat-tempat umum lainnya.
Seorang gadis Korea juga membawa serta teman dekat sebagai pendamping  ketika mulai berkencan dengan seorang pria baru. Hal tersebut juga sama ketika mereka pergi secara berkelompok.
Pasangan itu harus bijaksana dan ramah kepada teman-teman yang mendampingi mereka. Selama tahap ini, jika hubungan mereka  semakin berkembang, mereka tidak boleh menunjukkan rasa kasih sayang mereka dengan- berciuman dan berpegangan tangan karena hal tersebut masih dianggap tabu.

2. Tahap Berkencan 

Kencan dapat dimulai ketika SMA. Namun, ciuman pertama pada umumnya terjadi di perguruan tinggi.
Kencan dengan bersikap ramah adalah titik awal dari sebuah hubungan. Biasanya para Pasangan dapat bermain game di ruangan PC (kebanyakan untuk remaja dan dewasa muda), menonton film, makan malam, minum di bar dan bernyanyi di karaoke.
Seiring waktu berlalu, para pasangan tersebut bisa keluar tanpa teman. Mereka dapat berpegangan tangan di depan umum. Hal ini juga normal untuk melihat mereka mengenakan pakaian yang sama (Couple T-Shirt) untuk menunjukkan kasih sayang dan kedekatan mereka.



3. Konservatif Budaya

Tidak seperti di negara lain, sangat langka untuk melihat para pasangan remaja berkencan klub malam Korea. Bagi mereka yang sudah menjalin suatu hubungan, menjadi lebih dekat memerlukan hubungan jangka panjang bersama-sama setidaknya satu tahun.
Berpegangan tangan didepan umum biasanya diterima ketika mereka sudah menjalin hubungan jangka panjang, gerak tubuh dan ekspresi lain dari kedekatan fisik seperti berciuman di depan umum secara tradisional tidak dapat diterima.
Hal ini juga tidak umum untuk berbicara secara terbuka tentang seks selama percakapan biasa. Secara tradisional, warga Korea tidak akan masuk rumah pacar  mereka sampai mereka ingin menikah.

4. Kencan Buta

Kencan buta sangat umum di Korea. Coffee Shop dan berbagai tempat makan biasanya menjadi tempat untuk kencan buta. Orangtua biasanya mengatur usia anaknya untuk menikah.
Perjodohan masih dipraktekkan di Korea, terutama dalam keluarga yang masih sangat tradisional. Jadi, ketika orang tua telah menemukan seseorang untuk menyuruh anaknya berkencan, ini biasanya menunjukkan bahwa pernikahan pasti akan terjadi.
Para orang Korea biasanya mendapatkan pasangan berkencan melalui teman, kolega, atasan, dan tentu saja, orang tua dan kerabat.

5. Interaksi Dalam Berkencan
Di tengah modernitas Korea dan kemajuan di berbagai bidang, prospek tradisional Korea tentang kencan dan pernikahan antar-ras masih merupakan hal yang tidak biasa.
Dengan akar  budaya yang kuat dan patriotik, orang tua mendorong anak-anak mereka untuk menikah dengan orang Korea.
Bahkan sekarang, jika menikah dengan orang asing maka akan sering dibenci oleh masyarakat. Anak dari Korea dan orang asing dapat diganggu di sekolah karena bukan merupakan Korea murni.
Mereka yang berkencan dengan orang asing dapat sering terkena gosip. Sementara sekarang masih secara pelan-pelan berubah, budaya tradisional masih sangat diikuti oleh banyak orang Korea.

Source : ehow.com
Indotrans : kidihae@Koreanindo
http://lorenzakpop.blogspot.com/ 
IF YOU WANT SHARE PLEASE WITH FULL CRDIT


Kebudayaan Korea yang Mirip dengan Kebudayaan Indonesia

Kebudayaan korea akhir-akhir ini sangat pesat perkembangannya. Apalagi budaya pop atau yang lebih dikenal dengan K-Pop. Kebudayaan korea cukup unik sehingga banyak orang yang tertarik untuk mempelajari dan mengetahuinya lebih lanjut.
Namun sebenarnya kalau diperhatikan budaya korea itu dengan seksama ada juga loh yang mirip atau hampir mirip dengan beberapa kebudayaan yang ada di Indonesia.
Apa saja diantaranya? Mari kita lihat…
Pada bulan april ini ada festival yang diadakan pada 7-9 April 2012 yang lalu. Adalah The 2012 Jindo Miracle Sea Festival di Pulau Hoedong-ri dan Modo. Pada festival ini, air laut akan surut dan terlihat seperti terbelah, membentuk jalan yang menghubungkan kedua pulau.


Selama festival, gelombang pasang yang ekstra rendah menyebabkan laut untuk bagian ajaib, jalan sepanjang 2.8km. Akan ada Pungmulnori (perkusi musik Korea dan tari) serta pertunjukan bakat untuk anjing Jindo, jenis anjing terkenal setempat. Festival ini juga mencakup program pengalaman seperti musik tradisional Korea, sampling minuman tradisional Jindo, dan pameran foto.
Kalau dipikir-pikir mirip juga kok dengan yang ada di Indonesia. Tepatnya di Sumatera Barat. Yakni di Pantai Air Manis. Pantai air manis, merupakan salah satu wisata pantai favorit bagi wisatawan lokal maupun luar negeri, pantai ini memiliki ombak yang rendah dan pemandangan yang menakjubkan gunung padang. Pantai air manis termasuk daerah landai dan luas, sehingga bisa digunakan untuk bermain, apalagi ketika pasang surut, pengunjung bisa melihat penampakan biota laut yang menyembul kepermukaan.
 
Dengan berjalan kaki, Anda dapat pergi ke Pulau Pisang Kecil yang berada tidak jauh dari tepi Pantai Air Manis. Pulau ini tidak begitu luas, dapat digunakan sebagai tempat istirahat sambil menikmati makanan yang telah dipersiapkan sebelumnya.
Pulau Pisang Kecil dihiasi dengan pohon Jambu Kaliang yang bisa dinikmati oleh pengunjung secara gratis. Tapi ingat, jangan terlalu lama menikmati suasana di pulau itu. Sebab, beberapa jam kemudian, air pasang secara bertahap akan meningkat menjadi normal sehingga akses menuju Pulau Pisang Kecil tidak berada dalam jarak berjalan kaki lagi. Anda harus menggunakan perahu untuk kembali. Dan bedanya dengan yang ada di korea, fenomena ini bisa terjadi setiap hari.
Lalu selain yang ada di Sumatera Barat, juga ada yang mirip dengan kebudayaan dari provinsi lain di Indonesia. Yakni kemiripan antara tari bucheachum dengan tari kipas di Sulawesi selatan.
 
 
Menurut Wikipedia, Buchaechum atau Tari Kipas adalah salah satu tarian tradisional dari Korea yang paling terkenal, biasanya dipentaskan oleh sekelompok wanita. Tarian ini adalah kreasi baru, yang diciptakan oleh penari Kim Baek-Bong pada tahun 1954. Para penari menari menggunakan kipas yang berhiaskan bunga peony dan mengenakan hanbok yang berwarna mencolok.
 
 
Harapannya, dengan adanya (mungkin) kemiripan antara dua kebudayaan ini semakin memererat hubungan kedua Negara. Sehingga dengan hubungan yang semakin erat itu bisa menghasilkan berbagai kerjasama yang menguntungkan kita bersama.
 
sumber : http://nia-korea.blogspot.com

IF YOU WANT SHARE PLEASE WITH FULL CRDIT

Keadaan Sosial Budaya Korea

Budaya Perkawinan


Kebudayaan garis keluarga di Korea adalah berdasarkan atas sistem Patrilinial. Pria memegang peranan penting dalam kesejahteraan keluarkan dan diwajibkan untuk bekerja. Wanita diperbolehkan untuk bekerja hanya kalau diperbolehkan oleh suami atau jika hasil kerja suaminya tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Tugas utama wanita adalah untuk mengasuh anak dan menjaga rumah.
Budaya perkawinan Korea sangat menghormati kesetiaan. Para janda, walaupun jika suami mereka mati muda, tidak dizinkan menikah lagi dan harus mengabdikan hidupnya untuk melayani orang tua dari suaminya. Begitu juga yang terjadi pada seorang duda yang harus melayani orang tua dari istrinya walaupun istrinya tersebut mati muda.

Budaya dalam Hal Keturunan

Dalam budaya Korea , keturunan atau anak dianggap sebagai sebuah anugerah yang amat besar dari Tuhan. Oleh karena itu, setiap keluarga disarankan untuk memiliki paling tidak seorang keturunan. Oleh karena budaya yang amat menghormati anugerah Tuhan tersebut, aborsi yang bersifat sengaja akan diberikan hukuman yang amat berat secara adapt, yaitu hukuman mati kepada sang Ibu dan orang lain yang mungkin terlibat di dalamnya, seperti suaminya (jika suaminya yang memaksa), dokter (jika dokter yang memberikan sarana untuk aborsi), dan lain-lain. Akan tetapi, secara hukum, tidak akan diadakan hukuman mati. Hukuman mati biasanya hanya dilaksanakan di daerah pedalaman Korea di mana adat masih berpengaruh secara kuat.
Pembagian harta warisan dalam budaya ini amatlah adil. Tanpa memperdulikan jenis kelamin, keturunan dari seseorang akan mendapatkan pembagian harta dengan jumlah yang sama dengan saudara-saudaranya. Akan tetapi, dalam prakteknya ini tidak selalu terjadi. Kebanyakan orang tua menyisihkan lebih banyak harta warisan kepada anak tertua mereka.

Budaya Makanan

Dalam budaya Korea , ada satu makanan khas yang memiliki suatu arti yang tidak dimiliki oleh makanan lainnya. Makanan ini disebut kimchi. Di setiap session makanan, ketidakberadaan kimchi akan memberikan kesan tidak lengkap.
Kimchi adalah suatu makanan yang biasanya merupakan sayuran yang rendah kalori dengan kadar serat yang tinggi (misalnya bawang, kacang panjang, selada, dan lain-lain) yang dimasak sedemikian rupa dengan bumbu dan rempah-rempah sehingga menghasilkan rasa yang unik dan biasanya pedas. Dalam kenyataannya (menurut hasil penelitian kesehatan WHO), jenis-jenis kimchi memiliki total gizi yang jauh lebih tinggi dari buah manapun.
Hal yang membuat kimchi menjadi makanan yang spesial ada banyak faktornya. Faktor pertama adalah pembuatannya. Kimchi (dalam hal ini adalah kimchi yang dihidangkan untuk acara-acara spesial, bukan kimchi untuk acara makan biasa dan sehari-hari) dibuat oleh wanita dari keluarga bersangkutan yang mengadakan acara tersebut dan hanya bisa dibuat pada hari di mana acara tersebut dilaksanakan. Semakin banyak wanita yang turut membantu dalam pembuatan kimchi ini, semakin “bermakna” pula kimchi tersebut. Kimchi juga merupakan faktor penentu kepintaran atau kehebatan seorang wanita dalam memasak. Konon katanya, jika seorang wanita mampu membuat kimchi yang enak, tidak diragukan lagi kemampuan wanita tersebut dalam memasak makanan lain. Faktor ketiga adalah asal mula kimchi. Kimchi pada awalnya dibuat oleh permaisuri dari Raja Sejong sebagai hidangan untuk perayaan Sesi.
Kebiasaan / Tradisi, Kesenian, Bahasa

Kebiasaan / Tradisi
Ada sebuah tradisi / kebiasaan yang cukup terkenal di Korea. Tradisi ini dinamakan “sesi custom”. Tradisi sesi dilaksanakan sekali setiap tahun. Sesi adalah sebuah tradisi untuk mengakselerasikan ritme dari sebuah lingkaran kehidupan tahunan sehingga seseorang dapat lebih maju di lingkaran kehidupan tahun berikutnya.
Tradisi sesi dilaksanakan berdasarkan kalender bulan (Lunar Calender). Matahari, menurut adat Korea , tidak menunjukkan suatu karakteristik musiman. Akan tetapi, Bulan menunjukkan suatu perbedaan melalui perubahan fase bulan. Oleh karena itu, lebih mudah membedakan adanya perubahan musim atau waktu melalui fase bulan yang dilihat.
Dalam tradisi sesi, ada lima dewa yang disembah, yaitu irwolseongsin (dewa matahari bulan dan bintang), sancheonsin (dewa gunung dan sungai), yongwangsin (raja naga), seonangsin (dewa kekuasaan), dan gasin (dewa rumah). Kelima dewa ini disembah karena dianggap dapat mengubah nasib dan keberuntungan seseorang.
Pada hari di mana sesi dilaksanakan, akan diadakan sebuah acara makan malam antar sesama keluarga yang pertalian darahnya dekat (orang tua dengan anaknya). Acara makan wajib diawali dengan kimchi dan lalu dilanjutkan dengan “complete food session”.
Ada juga mitos lain dalam memperoleh keberuntungan menurut tradisi Korea, antara lain “nut cracking” yaitu memecahkan kulit kacang-kacangan yang keras pada malam purnama pertama tahun baru, “treading on the bridge” yaitu berjalan dengan sangat santai melewati jembatan di bawah bulan purnama pada malam purnama pertama tahun baru yang katanya dapat membuat kaki kita kuat sepanjang tahun, dan “hanging a lucky rice scoop” yaitu menggantungkan skop (sendok) pengambil nasi di sebuah jendela yang katanya akan memberi beras yang melimpah sepanjang tahun. 

Kesenian
Kesenian tradisional di Korea, dalam hal ini musik dan tarian, diperuntukkan khusus sebagai suatu bagian dalam penyembahan “ lima dewa”.
Ada beberapa alat musik tradisional yang digunakan, misalnya hyeonhakgeum (sejenis alat musik berwarna hitam yang bentuknya seperti pipa dengan tujuh buah senar) dan gayageum (alat musik mirip hyeonhakgum tetapi bentuk, struktur, corak, dan cara memainkannya berbeda dan memiliki dua belas buah senar).
Tarian tradisional yang cukup terkenal di Korea antara lain cheoyongmu (tarian topeng), hakchum (tarian perang), dan chunaengjeon (tarian musim semi). Tarian chunaengjeon ditarikan sebagai tanda terima kasih kepada dewa irwolseongsin dan dewa sancheonsin atas panen yang berhasil. 

Bahasa
Bahasa yang digunakan di Korea adalah bahasa Korea . Penulisan bahasa Korea dinamakan Hangeul. Hangeul diciptakan oleh Raja Sejong pada abad ke 15. Hangeul terdiri dari 10 huruf vokal dan 14 konsonan yang bisa dikombinasikan menjadi banyak sekali huruf-huruf dalam bahasa Korea . Hangeul sangat mudah dibaca dan dipelajari. Hangeul juga dianggap sebagai bahasa tulisan yang paling sistematik dan scientific di dunia. Berikut adalah contoh Hangeul.



http://lorenzakpop.blogspot.com/

Kamis, 08 November 2012

Sejarah Sungai Cheonggyecheon


Sungai Cheonggyecheon merupakan salah satu sungai yang ada di Korea Selatan. Sungai ini dapat dikatakan unik, hai ini karena Sungai Cheonggyecheon merupakan aliran sungai di tengah kota Seoul. Sungai Cheonggyecheon  memiliki panjang enam kilometer dan ditata dengan apik, sehingga tidak salah jika Sungai Cheonggyecheon menjadi salah satu tujuan wisata di Seoul. Di balik keunikan dan keindahannya, Sungai Cheonggyecheon menyimpan banyak misteri. Berikut beberapa hal tentang Sungai Cheonggyecheon.

1.      Sejarah Sungai Cheonggyecheon
Sejak jaman Dinasti Joseon, Cheonggyecheon telah mengalami berkali-kali proses pemugaran dan pengerukan. Sejak tahun 1958 sungai ini ditutup, dan baru pada tahun 2003 sungai ini mulai dipugar kembali.
Pada masa Dinasti Goryeo (918-1392), Sungai Cheonggyecheon merupakan sungai kecil dan dangkal yang meluap pada musim hujan.  Pada masa Dinasti Joseon (1392-1910) ibu kota Semenanjung Korea di pindah ke Hanyang atau Seoul, terjadilah pertumbuhan penduduk yang cukup pesat. Pertumbuhan penduduk yang cukup pesat ini mengakibatkan terjadinya perubahan yang cukup besar atas arus-arus sungai yang sudah ada. Perbaikan dan peningkatan sarana prsaranan sungai mulai dilakukan.
Proyek pembangunan Sungai Cheonggyecheon selesai pada tahun 1411, tahun ke- 11 pemerintahan Raja Taejong (1400-1418). Pada masa Raja Taejong dibentuklah suatu departemen yang ditugasi utuk mengawasi pelaksanaan proyek pembangunan Sungai Cheonggyecheon yang dimulai pada bulan Januari 1412. Departemen ini dikenal dengan nama Gaecheondogan.
Proyek Cheonggyecheon yang kedua dimulai pada tahun 1422, yaitu pada masa pemerintahan Raja Sejong (1418-1450) dan selesai pada bulan Februari 1434, tahun ke- 13 pemerintahan Raja Sejong.
Pada tahun ke-36 pemerintahan Raja Yeongjo (1724-1776) diadakan proyek pengerukan dasar sungai Cheonggyecheon. Proyek pengerukan ini berlangsung selama 57 hari, yaitu dari tanggal 18 Februari sampai 15 April 1760, dan melibatkan mobilisasi 150.000 warga Seoul serta 50.000 buruh kontrak. Menurut Buku Tahuanan Dinasti Joseon, Cheonggyecheon telah dikeruk sebanyak 8 kali setelah kelahiran Raja Jeongjo pada tahun 1752. Sungai Cheonggyecheon merupakan sungai yang sanggup bertahan terhadap cobaan dan bencana tak berkesudahan selama 500 tahun sejarah Dinasti Joseon.

2.      Legenda Cinta Yi An-nul
Korea merupakan salah satu negara di dunia ini yang memiliki banyak budaya. Masyarakat Korea terkenal akan tradisi rakyat yang masih kental hingga saat ini. Salah satu kebiasaan masyarakat Seoul adalah menjelajah jembatan sungai Cheonggyecheon. Kebiasaan ini berdasarkan kepercayaan bahwa berjalan melintasi 12 jembatan pada saat bulan purnama pertama akan menjauhkan seseorang dari penyakit dan kesialan sepanjang tahun. Kebiasaan masyarakat ini berdasarkan sebuah kisah cinta Yi An-nul, ia adalah seorang penyair pada masa pemerintahan Raja Seonjo (1567-1608).
Dimalam Daeboreum Yi yang masih muda bersama teman-temannya mabuk dan kemudian berjalan melintasi jembatan. Yi muda selanjutnya berpisah dengan teman-temannya. Yi yang dalam keadaan mabuk berjalan disekitar sungai Cheonggyecheon, ia pun pingsan di jembatan sungai Cheonggyecheon. Di dekat sungai terdapat sebuah rumah besar, rumah itu milik seorang penerjemah kelas menengah bernama Kim. Kim memiliki seorang putri, putri Kim sudah menikah 3 hari sebelumnya dan menantu Kim sedang mengunjungi orang tuannya. Pembatu Kim yang mengira Yi muda adalah suami putri Kim membawa Yi ke dalam kamar pengantin wanita. Pengatin wanita yang mengira Yi adalah suaminya akhirnya menghabiskan malam bersama.
Keesokan harinya Yi yang terbangun kaget melihat dirinya bersama wanita asing dalam satu ruangan. Menyadari hal tersebut, Yi langsung menggunakan pakaiannya dan bergegas pergi. Tidak disangka sang pengantin wanita terbangun dan memegang celana Yi dan menahannya. Pengantin wanita yang merasa takut memutuskan untuk bunuh diri, tetapi hal tersebut ia urungkan mengingat orang tua wanita itu yang telah membesarkannya dengan penuh kasih sayang. Kasih sayang inilah yang akhirnya membuatnya berani meminta Yi membawanya pergi. Sistem sosial yang sangat ketat pada masa itu melarang berbincang-bincang antara seorang wanita dan pria yang tidak saling mengenal. Akhirnya Yi membawa wanita itu pergi ke tempat bibinya di Pil-dong dan meminta bibinya menjaga wanita itu hingga Yi lulus gwageo, ujian administrasi negara pegawai pelayanan masyarakat tingkat atas.
Dilain pihak keluarga Kim kebingungan mencari putrinya yang menhilang tanpa jejak. Di saat yang sama mereka mendengar kabar bahwa menantunya akan kembali, akhirnya keluarga Kim memutuskan untuk memberitahu menantu mereka bahwa isterinya tiba-tiba meninggal di tengah malam. Tiga tahun kemudian Yi telah lulus gwageo. Bersama puteri Kim, ia pergi menemui orang tuanya dan keluarga Kim untuk menjelaskan kejadian tiga tahun yang lalu dan akhirnya mereka menikah.

3.      Cheonggyecheon Kawasan Kumuh
Di masa lalu, sungai Cheonggyecheon mempunyai arti penting bagi Seoul dalam aspek geografi, politik, sosial dan budaya. Pada masa dinasti Joseon, wilayah sebelah utara merupakan wilayah tempat tinggal bagi kaum bangsawan dan kantor pemerintahan dan wilayah sebelah selatan diperuntukkan bagi rakyat biasa dan para cendekiawan dengan status ekonomi kelas bawah. Kawasan di pinggiran Cheonggyecheon dijadikan tempat tinggal bagi rakyat biasa.
Mereka membangun tempat tinggal di pinggiran sungai Cheonggyecheon. Akibatnya muncul permukiman kumuh di sepanjang sungai. Aktifitas mandi, mencuci dan membuang sampah di Cheonggyecheon merupakan bagian dari kehidupan penduduk yang tinggal di sepanjang aliran ini. Selain itu terdapat beberapa jembatan yang dibangun melintasi Cheonggyecheon dan para pedagang biasanya beraktifitas di seputar jembatan-jembatan tersebut.
Pada masa pemerintahan Dinasti Joseon, sungai Cheonggyecheon digunakan sebagai salah satu pembuangan air, daerah sepanjang sungai Cheonggyecheon digunakan sebagai tempat tinggal warga miskin. Menurut Hangyeongjiryak, buku geografi Seoul dari masa akhir dinasti Joseon, dijelaskan bahwa raja secara teratur mengirimkan beras dan bahan makanan kering untuk rakyat.
Pada masa kolonial Jepang, Cheonggyecheon merupakan garis pembatas antara bangsa Korea yang tidak beradab dengan bangsa Jepang yang berdab. Setelah Jepang menguasai Korea, pada tahun 1910 pemerintah Jepang menganugerahi nama Cheonggyecheon yang berarti air lembah bersih. Dahulu Cheonggyecheon dikenal dengan nama gaecheon yang berarti sungai air limbah. Selama memerintah Jepang tidak memperhatikan sungai Cheonggyecheon, baru pada tahun 1918 pemerintah Jepang melalakukan pengerukan.
Keadaan Cheonggyecheon yang semakin tercemar membuat pemerintah Korea Selatan mengeluarkan kebijakan “filling”. Kebijakan filling merupakan kebijakan membangun jembatan layang (Cheonggye Overpass) di atas Cheonggyecheon sehingga tidak tampak dari pandangan. Selain itu kebijakan ini dipandang tepat untuk mengatasi peningkatan arus lalu lintas dan juga sebagai simbol modernisasi Korea. Selama 25 tahun, Cheonggyecheon seolah menghilang dari bagian kehidupan Seoul, tertutup oleh dua lapis jalan kokoh yang dibangun diatasnya, namun kenyataannya air masih tetap mengalir sepanjang Cheonggyecheon.
Pada akhirnya muncul kesadaran pentingnya mengembalikan Cheonggyecheon sebagai bagian dari sejarah, kehidupan dan budaya Seoul. Tahun 2003, pemerintah setempat memulai Cheonggyecheon Restoration Project, suatu proyek yang bertujuan mengembalikan Cheonggyecheon sebagai bagian dari sejarah kehidupan dan budaya Seoul. Proyek ini juga bertujuan untuk mewujudkan Seoul sebagai kota ramah lingkungan dengan memselaraskan alam dan manusia, menciptakan keseimbangan pembangunan di wilayah utara dan selatan Hangang River dan pada akhirnya akan meningkatkan kualitas budaya dan ekonomi kehidupan masyarakat Seoul. Cheonggye overpass yang menutupi Cheonggyecheon stream dirubuhkan dan sepanjang aliran dibersihkan ditata dengan design yang menarik. Penyelesaian proyek ini memerlukan waktu dua tahun tiga bulan dimulai bulan Juli 2003 sampai bulan Oktober 2005.
4.      Wall of Hope
Wall of Hope atau tembok harapan merupakan salah satu tempat penting bagi masyarakat Korea. Tembok ini menampilkan sekitar dua puluh ribu potongan porselen keramik yang setiap potongannya memuat gambar dan pesan-pesan dari warga Korea di seluruh penjuru dunia (yang tinggal di Korea Selatan, Korea Utara atau di luar Korea) yang berharap Korea bisa bersatu. Dinding yang terbentang 50 meter dengan tinggi dua meter ini merupakan dinding porselen keramik terbesar di dunia.

Sumber:
Seung, Yoon Yang.2009.Kebudayaan Korea Tanah dan Lingkungan Hidup. Yogyakarta:Gadjah Mada University Press.
Yeppopo.
credit: linezuki.blogspot.com
Photo: Googling
Post by: askarein@yeppopo
http://lorenzakpop.blogspot.com/
IF YOU WANT SHARE PLEASE WITH FULL CRDIT